Diolah dari Berbagai Sumber
Oleh: Herlina Aprilia
Editor: Nur Muwachid
Sejarah Hukum Agraria
A.
Masa
Sebelum Agrarische Wet (Adat-1870)
Sebelum
adanya peraturan pertanahan yang di buat oleh Belanda di Indonesia, Indonesia
saat itu telah memiliki hukum pertanahan sendiri. Hukum pertanahan tersebut
berasal dari hukum adat masing-masing daerah, karena pada saat itu belum ada
persatuan antar suku dan bangsa. Hukum pertanahan adat itu sampai sekarang
masih berlaku dan sering disebut hak ulayat adat.
Pengertian
dari tanah ulayat adalah tanah yang di miliki oleh suatu masyarakat adat yang
tatacara kepemilikanya memiliki aturan yang khas tiap-tiap daerah. Luas tanah
ulayat tidak mampu didefinisikan secara pasti namun kebiasaan masyarakat adat
utuk menentukan luas tanah ulayat dengan cara seluas mata memandang adalah
milik masyarakat adat tersebut. Tanah ulayat merupakan tanah milik adat
(masyarakat adat) dengan pemisahan antara tanah dengan bangunan yang di atasnya
(pemisahan horizontal). Tiap daerah memang memiliki perbedaan tatacara
kepemilikan tanah ulayat namun jika di gambarkan secara umum. Timbulnya hak
milik tidak berarti mutlak kepemilikan individu anggota masyarakat adat.
B. Masa Agrarische Wet (1870–1945)
Pemerintah
belanda mulai memberlakukan Agrarische
Wet kepada pengusaha swasta asing atas desakan dari para kolongmerat
belanda dan aktifis HAM dari Belanda yang mengecam kultur selsel (kerja rodi).
Secara logis, culture stelsel merugikan pemilik modal swasta yang ingin
berinfestasi karena pembatasan kepemilikan tanah oleh pemerintah dengan
maksimal sewa tanah 20 tahun. Setelah berlakunya Agrarische Wet hak erfpacht
mulai dapat di terapkan pada Indonesia. Seiring berjalanya waktu praktek hak
erfpacht mulai bergeser menjadi hak eigendom dan pemerintah Belanda merasa
cultur stelsel memberi keuntungan kepada pemerintah sehingga terjadilah
percampuran hukum pada Agrarische Wet.
C. Masa
Sebelum UUPA (1945-1960)
Dalam
penyusunan dasar-dasar Hukum Agraria dimulai sejak tahun 1948 untuk
menggantikan ketentuan-ketentuan pertanahan warisan Hindia Belanda yaitu dengan
pembentukan “Panitia Agraria” yang berkedudukan di Jogjakarta yaitu disebut
“Panitia Jogja” yang dibentuk berdasarkan Penpres tanggal 21 Mei 1948 No. 16 yang
diketuai oleh “Sarimin Reksodiharjo” yang menjabar pada saat itu sebagai Kepala
bagian agraria Kementrian dalam negeri.
Kemudian
setelah negara RI sebagai negara Kesatuan Republik Indonesia maka berdasarkan
Kepres tertanggal 19 Maret 1951 No. 36 tahun 1951 Panitia Yogya dibubarkan
kemudian dibentuk “PANITIA JAKARTA” yang diketuai oleh
“Sarimin Reksodiharjo” pada tahun 1953 yang pada saat itu berjabat sebagai
pejabat politik. Panitia ini beranggotakan pejabat-pejabat dari berbagai
kementrian, dan jawatan serta wakil-wakil dari organisasi tani. Pada tahun 1953
Sarimin Reksodiharjo digantikan oleh Singgih Praptodiharjo, karena Sarimin
diangkat sebagai Gubernur di Nusa Tenggara.
Pada
tanggal 29 Maret 1951 dikeluarkan Keppres No. 5/1955 yaitu dengan dibentuknya
Kementrian agraria, dengan tugas : untuk mempersiapkan perundang-undangan
agraria nasional dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Ketentuan UUD
1950. Dengan dibentuknya Kementrian agraria nasional yang diketuai oleh
Goenawan. Kemudian ada beberapa perubahan mengenai sistematika rumusan serta
beberapa pasal dari panitia Soedarwo oleh “Panitia Agraria Soenaryo”
diajukanlah pada Dewan Mentri dalam sidangnya tanggal 1 April 1958.
Rancangan
tersebut diajukan pada DPR sesuai dengan “Amanat Presiden tanggal 24 April 1958
No. 1307/Hk/1958. Rancangan UU ini kemudian dibicarakan dalam sidang Pleno DPR.
Selanjutnya oleh DPR dibahas dan oleh pihak DPR masih memandang perlu untuk
mengumpulkan bahan yang diperlukan oleh “Panitia Musyawarah DPR” dibentuklah suatu
“Panitia Adhoc” yang diketuai oleh “Mr. AM. Tambunan” dan oleh Prof. Notonegoro
dan Prof. Wirjono Projodikoro memberikan masukkan kepada panitia adhoc, namun
konsep yang diajukan tersebut ditarik kembali karena rancangan tersebut memakai
dasar dari UUDS 1950.
Setelah
negara RI kembali ke UUD 1945 dibentuklah RUUPA yang lebih dasar dan sempurna
yang disesuaikan dengan UUD 1945. Oleh karena itu Rancangan Mentri Agraria
Soejarwo disetujui oleh Kabinet Inti dalam sidangnya tertanggal 22 Juli 1960.
Dalam Kabinet pleno yang sidangnya tanggal 1 Agustus 1960 di dalam pengantar
acting, Ketua DPR yang diketuai oleh H. Zainul Arifin yang sidang plenonya
tanggal 9 September 1960 diketuai jalannya Rancangan Undang-Undang Pokok
Agraria (RUUPA) sesuai dengan ketentuan tata tertib DPR maka titik berat
pembicaraan diletakkan pada pembahasan sidang-sidang komisi yang sifatnya
tertutup.
Berkat
semua itu pemeriksaan pendahuluan telah selesai dengan selamat. Setelah selesai
pemeriksaan pendahuluan tanggal 14 September 1960 dengan secara bulat DPR
menerima baik RUUPA ini. Berarti semua golongan dari DPR menyetujuinya maka
dengan demikian dapat dikatakan apa yang telah disetujui itu dianggap sesuatu
yang hidup dalam masyarakat termasuk sarjana, tokoh-tokoh agraria, agama, ahli-ahli
adat. Setelah RUUPA disetujui DPR tanggal 12 September 1960 disahkan oleh
Presiden RI menjadi UU yaitu tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan
selanjutnya ditulis dalam Lembaran Negara (LN No.104/1960) dan penjelasan
dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara No. 2043.
0 Komentar