Notulensi Diskusi Publik “Tepatkah Larangan Mudik Dengan Penerapan Pidana”

Notulensi ditulis oleh: Departemen Administrasi

    HMJ Ilmu Hukum UIN Walisongo Semarang telah mengadakan Diskusi Publik dengan judul :” Tepatkah Larangan Mudik Dengan Penerapan Pidana” diadakan pada hari kamis,06 Mei 2021 pukul 16.00 WIB s/d 17.00 WIB yang dibawakan oleh moderator Kiki Rahmawati dari Departemen Soskahum dengan dua narasumber yakni Ibu Brilliyan Erna Wati, SH., M.Hum. Selaku Kepala Jurusan Ilmu Hukum dan Ibu Novita Dewi Masyithoh, SH., MH. Selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Hukum. Judul diskusi public tersebut diangkat dari isu yang sedang hangat akhir-akhir ini yakni mengenai peraturan larangan mudik yang didalamnya terdapat sanksi pidana serta denda bagi yang melanggar aturan tersebut. Kegiatan ini diawali dengan question box yang sudah disediakan HMJ Ilmu Hukum satu hari sebelum diskusi  public ini dilaksanakan yang selanjutnya pertanyaan yang sudah ada akan ditanyakan pada acara diskusi public ini yang dilaksanakan di Live Instagram @uinwsilmuhukum.

    Dilihat dari dampak covid-19 yang sangat berdampak ke beberapa aspek maka hal ini mendorong pemerintah untuk memperketat protocol Kesehatan. Ada beberapa regulasi yang ada yakni mengenai surat edaran dan ada peraturan Menteri Nomor 13 tahun 2021 tentang peniadaan mudik. Mnegenai sanksi pidana nya terdapat dalam Undang-undang No 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan. Ada hak manusia untuk melakukan mobilisasi terdapat dalam Undang-undang nomor 39 tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia. Mobilitas terhadap manusia itu dijamin. Hak masyarakat untuk mobilitas ini sifatnya tidak absolut tapi relative. Namun pembatasan mobilisasi ini patut untuk dibenarkan apabila terkait dengan Kesehatan masyarakat. Problematika terpenting yakni implementasi saksi pidana terhadap larangan mudik yakni pidana penjara apakah hal ini sudah benar.Hukum pidana hadir dalam hukum admnistrasi terkait surat larangan mudik. Hukum pidana sebagai sarana untuk menegakkan hukum administrasi. 

    Surat edaran seharusnya adalah aturan pelaksana dari suatu Undang-undang. Undang-undang terkait dengan covid 19 awalnya sudah dibuat presiden Jokowi dalam bentuk Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang (PERPU) yang kemudian sudah di sahkan menjadi UU. Peraturan pelaksananya seharusnya dalam bentuk peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah ini dibuat oleh pemerintah. Menteri termasuk dalam pemerintah maka minimal bentuk aturan pelaksana nya adalah Peraturan menteri. Peraturan menteri yang paling banyak di buat dalam penanganan covid adalah PERMEN HUB karena berkaitan dengan perjalanan darat,laut dan udara. PERMEN sebenarnya sudah merupakan aturan pelaksana lalu mengapa masih diperlukan surat edaran. Alasan terdapat surat edaran sedangkan sudah terdapat Peraturan Menteri yakni karena sifatnya luas sedangkan untuk menjadi aturan pelaksana  harus bersifat detail sehingga bisa dilaksanakan. Lain halnya dengan Undang-undang,ketika sudah disahkan pun tetap harus ada aturan pelaksana karena Undang-undang sifatnya Luas.

    Dilihat dari hukum perdata,addendum merupakan pengaturan khusus terkait hal-hal yang belum diatur dalam perjanjian. Addendum muncul setelah surat edaran. Addendum ini terdapat dalam hukum privat dan peraturan mengenai covid 19 sifatnya berada dalam hukum public. Fungsinya untuk melengkapi yang ada di dalam surat edaran. Pada akhirnya hal ini menuai Pro dan kontra dikalangan akademisi yakni mengenai kedudukan surat edaran dan addendum dalam system peraturan perundang-undangan. Jika surat edaran mencederai hak-hak konstitusi warga negara maka surat edaran dapat dibatalkan dengan melakukan Judicial review yang melakukan adalah Mahkamah Agung. Dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan surat edaran masuk kedalam diskresi. Maka surat edaran dapat dibatalkan dalam Pengadilan TUN.
 

Sesi tanya jawab :

Pertanyaan : Mudik sudah menjadi kebiasaan di masyarakat,jika dilihat dari urgensinya larangan mudik ini untuk mengurangi pertambahan covid 19. Namun pada pelaksaannya masyarakat masih ke pasar. Sedangkan praktek new normal sebenarnya sudah merapkan protocol Kesehatan yang baik tetapi mengapa untuk momen lebaran ini dilarang mudik dengan ancaman pidana hingga denda,mengapa harus terdapat ancaman pidana hingga denda kepada masyakat yang ingin mudik untuk bertemu keluarganya ?
Jawaban : Negara memiliki otoritas untuk membuat suatu kebijakan berdasarkan data. Hukum pidana hadir ketika obat-obat yang lain sudah tidak dapat mengatasi. Jika dilihat dalam Undang-undang nomor 6 tahun 2018 maka tujuannya untuk mencegah itu karena berpotensi menimbulkan kedaruratan Kesehatan masyarakat. Sanksi yang terdapat dalam surat edaran yakni sanksi denda,sanksi sosial,dan kurungan pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kurungan sudah termasuk dalam sanksi denda. Bobot kualifikasi dari sanksi surat edaran tidak berat apabila dilihat dari tindak pidana. Dalam pasal 30 maka kurungan ini sebagai pengganti denda dengan jangka waktunya yakni 6 bulan. Denda berapapun maka kurungan pidananya tetap 6 bulan. Hanya bisa diperberat dalam ayat selanjutnya yakni 8 bulan. Surat edaran sebenarnya didalamnya mengandung perlindungan kepada masyarakat. 

    Jika dikaitkan dengan budaya mudik hal ini berpotensi keluar maupun masuknya penyakit. Maka dalam UU no 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan maka sanksi administrant nya dalam pasal 48 yakni peringatan,denda administrasi,pencabutan izin. Dalam ketentuan pasal 90 ,91,92 sanksi pidana nya 10 tahun dan/atau denda Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Sedangkan dalam pasal 93 setiap orang yang tidak mematuhi kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraaan kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan Kesehatan masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (serratus juta rupiah).

    Terdapat 4 pasal yang berbeda dalam pengenaan pidana. Dalam formulasi kebijakan hukum adminitrasi belum ada keseragaman, hal ini mencerminkan belum adanya keadilan untuk masyarakat. Selain itu terdapat fungsi preventif, yang didalamnya terdapat peringatan. Dalam aturan larangan mudik ini terdapat tebang pilih dalam penerapannya seperti mall,pasar,dan jalan masih ramai sedangkan demontrasi dilarang. Hal ini karena masih adanya kerancuan dalam pengaturan yakni belum adanya konsistensi pengaturan yang ada.

    Mudik ini sebenarnya merupakan tradisi yang sangat baik hanya dimiliki nusantara. Namun karena adanya tebang pilih dalam penerapan larangan mudik ini maka hukum itu seolah-olah bukan untuk masyarakat dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan- kebijakan pemerintah tidak konsisten. Namun budaya hukum sebenarnya sudah tumbuh dengan sendirinya dengan bukti bahwa new normal ini sudah berjalan dengan baik,masyarakat memiliki kesadaran untuk menjaga dirinya. Covid 19 ini sebenarnya bukan untuk ditakuti namun covid 19 ini mengajarkan kita bagaimana mengendalikannya. 

    Closing statement pada dikusi publik ini yakni penggunaan pidana dalam hukum administrasi bisa dikatakan sebagai politik hukum pidana berarti disini mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik maka harusnnya diformualasikan dengan baik yang didalamnya terdapat keadilan dan daya guna. Alasan perlunya pidana yakni tidak terletak pada tujuan yang dicapai tapi pada persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan itu boleh menggukan paksaan. Penggunaan pidana pada hukum pidana tidak semata-mata bertujuan kepada si penjahat namun juga kepada orang yang tidak berlaku jahat yaitu warga masyarakat untuk mentaati norma-norma.